cerpen: SEBERSIT HARAPAN
Kabut mulai turun menggantikan posisi matahari. Matahari mulai lelah
untuk menyinari bumi. Halilintar mulai menyambar. Suara menggelegar itu
mengguncang bahu dua anak yang duduk didekat pintu gubuk mereka. Mata mereka
terpejam seketika. Kedua anak itu memeluk lutut. Titik air hujan satu-persatu
membasahi tanah yang berselimut debu. Anak yang tertua, memeluk adiknya yang
ketakutan.
Suara halilintar semakin keras. Jalan setapak di depan pagar bambu itu
terlihat masih kosong. Mereka tetap bertahan di depan pintu menunggu Emak
pulang. Lama sekali mereka menunggu namun Emak tak kunjung datang.
***
Pagi-pagi sekali Emak pergi ke
kebun singkong namun tak kunjung datang. Menuruni kaki bukit yang penuh ranjau.
Daun-daun singkong bertepuk tangan seperti mengejek Emak. Hati-hati sekali Emak dengan
ketelatennanya menarik satu tandan singkong.
Security yang berpatroli dikebun singkong itu menemukan Emak mengambil
singkong dan kemudian menangkapnya. Dua polisi dan beberapa security memborgol tangan Emak dan mendorong tubuh
Emak dengan kasar. Namun kedua anaknya yang berada di gubuk untuk menunggu
kedatangan Emak, tidak mengetahui jika Emak ditangkap.
Seminggu yang lalu Bapak meninggal ditembak polisi, karena tertangkap
basah mencuri di salah satu swalayan ternama dan berusaha kabur. Emak tidak
tahu harus melakukan apa untuk membalas kematian Bapak. Tak ada family dan sanak saudara yang bisa dimintai
tolong. Perusahaan perkebunan singkong itu telah merampas hak-hak orang
kampung. Orang-orang kampung diusir dari kebun yang awalnya milik bersama
dengan dalih mereka tidak memiliki bukti
hitam diatas putih.
Berdirinya perusahaan itu benar-benar berdampak bagi orang-orang
kampung. Sungai pun tercemar pestisida
yang dibuang sembarangan oleh perusahaan itu.
Ikan-ikan mulai menghilang.
Ketika Rangga pergi memancing berhari-hari lamanya, Rangga pulang tanpa
membawa seekor ikan pun.
Dahulu Bapak dan penduduk di kampung menggantungkan hidup mereka dari
hasil hutan, perkebunan singkong, dan ikan-ikan yang di sungai. Tragisnya,
perusahaan yang berdiri di kampung tidak mau memperkerjakan penduduk kampung.
Mereka menganggap orang kampung itu bodoh, tidak berpendidikan, dan tidak tahu
apa-apa. Bapak tidak punya pilihan lain selain bekerja di kota. Namun mencari lapangan
pekerjaan di kota sangatlah susah. Karena Bapak terus memikirkan nasib istri
dan kedua anaknya yang menunggunya pulang dengan perut kelaparan , ia terpaksa
mencuri di kota. Bapak berhasil kabur. Namun polisi mengejar Bapak. Karena Bapak terus berusaha
kabur, polisi menembak Bapak dari belakang yang menembus dadanya . Siapa yang
bisa disalahkan dalam kasus ini?
Jaman sekarang, hukum tidak lagi berpihak pada masyarakat kecil. Yang
berkuasalah yang akan menang. Polisi yang seharusnya berperan sebagai perlindungan
justru sebaliknya. Jikalau keluarga itu menuntut, percuma saja. Kepada siapa
mereka akan berlindung? Pemerintah? Jika melapor kepada pemerintah akan
membuang tenaga dan sia-sia karena mereka pasti akan sibuk dengan segudang
tugas mereka mengurus negeri ini.
Sejak saat itu, Emak menggantikan posisi Bapak untuk memenuhi kebutuhan
pangan dan sekolah Rangga dan adiknya yang masih kecil. Setiap harinya Emak
hanya mengambil satu tandan singkong dari tanah mereka sendiri yang diambil
orang. Tandan singkong itu lalu dinikmati untuk hidangan. Sebelum kebun
singkong itu dirampas oleh pihak perusahaan, Almarhum Bapak sebulan sekali ke
kota membeli keperluan keluarga untuk beberapa pekan. Namun semenjak perusahaan itu memperketat
penjagaan perkebunan singkong, Bapak sangat jarang berbelanja keperluan
keluarga.
***
“Abang, lapar…,” Bibir adik perempuan Rangga gemetar. Suara halilintar
kembali terdengar. Rangga cepat-cepat membawa masuk adiknya. Tangan kecilnya meraba-raba dalam gelap. Lampu teplok itu tak berminyak. Ketakutan seketika menakuti hati mereka. Tapi
Emak tak kunjung datang.
“Abang, lapar…,” Adiknya merengek lagi.
“Singkong rebus sudah habis. Sabarlah sebentar. Sebentar lagi Emak
pulang. Kita akan makan nasi goreng.” Bocah kecil itu setengah menyesal
karena berbohong pada adiknya yang masih
berumur lima tahun.
Malam ini tidak ada singkong rebus dan mereka akan melewatinya dalam
gelap. Dia juga merasakan perutnya seperti diremas-remas. Tiba-tiba suara petir
berdentam keras seperti menghantam rumah mereka. Rangga terlonjak. Adiknya
menangis sejadi-jadinya. Namun Rangga tidak hilang akal untuk menghibur
adiknya. Dibukanya jendela yang menghadap ke halaman. Dari jendela yang terbuka
itu remang cahaya masuk. Rangga dapat melihat sepintas wajah adiknya yang
berair karena air mata. Bibir adiknya pucat dan gemetaran. Perutnya kembali
diremas-remas. Dari kemarin mereka belum makan. Tiga hari yang lalu, Emak
pulang dengan wajah berseri-seri. Ditangannya ada sebungkus kecil garam dan
ikan asin yang sudah digoreng lalu memakannya bersama-sama.
Air liur Rangga menetes ketika membayangkan kejadian itu. Perutnya
makin perih dan adiknya menangis tanpa suara. Dipandu cahaya redup, Rangga
menunjuk kearah langit dari jendela yang terbuka.
“Dik, lihat!” Jari telunjuk Rangga menunjuk kearah langit.
“Kamu lihat bintang-bintang itu, Dik?.” Ujar Rangga yang tidak
kehilangan akal untuk menghibur adiknya.
Adiknya hanya mengangguk-angguk sambil menahan rasa sakit di perutnya.
“Suatu saat nanti Abang ingin menjadi seperti bintang itu yang bersinar
terang menerangi bumi di malam hari. Seperti halnya, Abang ingin menjadi orang
yang nantinya bisa berguna bagi semua orang yang dalam kesusahan. Kalau kamu
nanti ingin jadi apa, Dik?.” Ujar Rangga tersenyum menerawang wajah adiknya kemudian
menatap kembali bintang itu.
“Aku ingin jadi dokter, Bang. Aku ingin menolong orang-orang yang
sakit.” Ujar adiknya dengan wajah polos yang menahan rasa sakit. Rangga hanya
tersenyum yang juga menahan sakit perut mendengar pernyataan adiknya. Rangga
sejenak terdiam. Akalnya mulai habis untuk menghibur adiknya. Ia tahu adiknya
kesakitan menahan rasa lapar yang juga ia rasakan. Lalu ia memandang kembali
langit malam dari balik jendela.
“Lihat! Bintang yang itu bersinar paling terang diantara bintang-bintang
lainnya. Bintang itu nantinya akan membawa kita ke tempat paling indah di
Surga. Kamu mau kan pergi ketempat yang paling indah bersama bintang-bintang
itu?” Ujar Rangga sambil menunjuk kearah bintang itu dan mengeluarkan
imajinasinya tentang bintang.
“Benarkah , Bang? Aku ingin pergi kesana malam ini bersama
bintang-bintang itu, Bang.” Kata adiknya yang begitu polos dan lugu. Rangga
merasa aneh ketika adiknya mengucapkan kata-kata itu. Namun Rangga berusaha
untuk tetap berfikir positif.
“Tidurlah, jika kau ingin kesana malam ini. Karena bintang-bintang itu
akan menemani dalam tidurmu.” Ujar Rangga yang berusaha membujuk adiknya agar
tertidur.
Rangga tahu jika perut adiknya kesakitan. Kemudian Rangga memainkan
beberapa lelucon tentang bintang untuk mengalihkan perhatian adiknya. Yah, terdengar lucu. Adiknya tertawa
terpingkal-pingkal. Suara adiknya terdengar serak. Dari tadi siang adiknya menangis. Ia pun
ingin menangis juga. Tapi kalau dia menangis pasti adiknya akan ikut menangis.
Rangga mencoba menahan air matanya agar tidak tumpah setetespun. Udara angin
malam mulai membuat adiknya masuk angin. Rangga menyeringai menahan perih karena
perut keroncong semakin membuatnya
meronta. Rangga mulai sempoyongan. Kakinya tidak bisa berdiri tegap lagi. Dia menjatuhkan
diri diatas dipan tepat disebelah adiknya yang sedang menguap lebar-lebar.
“Adik, kalau mengantuk tidur duluan saja. Nanti kalau Emak datang,
Abang bangunkan.”
“Nanti kita makan nasi goreng kan, Bang?” Tanya adiknya penuh harapan.
“Iya, Emak pasti pulang membawa nasi goreng.” Jawab Rangga yang
memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Selimut batik yang sudah usang dan sobek
diselimutkan ke tubuh adiknya. Tubuh adiknya melengkung dengan tangan
bersedekap. Menahan hawa dingin dan
lapar yang menusuk.
Rangga mendongakkan kepalanya dari jendela yang terbuka. Namun sosok
Emak belum juga muncul. Mata Rangga tak juga mengatup meski sakit perutnya
makin perih. Ia berharap esok hari Emak akan pulang dengan membawa sekantong
penuh pecel atau nasi goreng.
Lamunan Rangga buyar, dikejutkan oleh suara erangan adiknya. Tubuh
adiknya mengejang. Dari mulutnya keluar buih. Mata adiknya membelalak. Temaram
cahaya yang ciut, membuat Rangga pasrah dengan kondisi adiknya. Tidak ada yang
bisa dilakukan oleh Rangga dengan kondisi adiknya yang seperti itu. Ia hanya
bisa memeluk tubuh mungil adiknya kuat-kuat.
Adiknya terlihat tidur begitu nyenyak. Dibersihkannya sisa buih dari
mulut adiknya. Dia tersenyum sembari menyeka pipinya yang berair. Untuk
memastikan adiknya sudah tidur, ditepuk pelan-pelan pipi adiknya. Tak ada
reaksi. Pipi adiknya begitu dingin. Selimut batik yang usang itu semakin
direkatkan ke tubuh adiknya. Daun jendela kembali ditutup. Rangga kembali
merebahkan tubuh disamping adiknya. Adiknya tidur begitu tenang dengan tubuh
sedingin es.
“Dia pasti kedinginan.” Pikir Rangga. Rangga pun tidur tanpa selimut.
Tubuhnya mulai menggigil dicubit hawa dingin. Tubuhnya melengkung bersedekap
kuat-kuat. Sakit perutnya semakin menusuk. Sampai matanya terpejam. Namun Emak
belum juga pulang.
***
Esok harinya, Rangga terbangun dengan perut yang kosong. Ia memandang adiknya yang masih terlihat
tidur pulas disampingnya. Rangga tidak ingin membangunkannya. Mungkin sekarang adiknya
sedang bermimpi indah. Ia berharap semoga kondisi adiknya membaik. Rangga
mengucek matanya. Kemudian melihat kondisi sekitar. Ia berharap Emak telah tiba
pulang. Namun meski pagi menjelang,
tetap tidak ada tanda-tanda Emak sudah
pulang. Rangga terus berharap-harap cemas menunggu kedatangan Emak.
Waktu terus berjalan. Jam berganti jam, namun Emak belum juga tiba.
Rangga memandang jalan setapak yang dilewati beberapa orang. Namun ia tidak
melihat sosok Emak sama sekali. Adiknya pun belum juga terbangun. Sekilas, ia
menatap tubuh adiknya yang berbaring diatas dipan beralas tikar itu. Aneh, biasanya sesiang ini adiknya sudah bangun. Rangga ragu
untuk membangunkan adiknya yang terlihat pulas sekali. Ia takut mengganggu
tidur adiknya. Namun Rangga juga merasakan sesuatu yang janggal pada kondisi
adiknya. Apakah adiknya baik-baik saja setelah apa yang terjadi padanya
semalam?. Rangga begitu khawatir. Kemudian Rangga memutuskan untuk mencoba membangunkan adiknya,
“Dik, bangun. Hari sudah pagi.” Ujar Rangga sambil menepuk tubuh kurus
adiknya.
Sayang, tak ada jawaban.
“Dik, bangun! Lihatlah Emak sudah pulang!” Ujar Rangga dengan membujuk
adiknya agar bangun dari tidurnya.
Tak ada jawaban lagi.
Rangga tak putus asa untuk terus membangunkan adiknya. Di elusnya
kening adiknya pelan-pelan sambil berbisik “Dik, bangun! Emak sudah pulang
membawa nasi goreng.”
Keningnya sangat dingin.
Bibirnya pucat pasi. Wajahnya juga terlihat pucat. Rangga merasakan sesuatu
yang janggal saat ini terjadi pada adiknya. Ia mulai khawatir dengan kondisi
adiknya.
“RASTI! BANGUN RASTI! BANGUN!” Teriak Rangga panik sambil
menggoyang-goyangkan tubuh adiknya. Ia bingung harus melakukan apa melihat
kondisi adiknya yang tidak sadarkan diri. Ia hanyalah bocah yang berusia tujuh
tahun yang tidak mengerti apa-apa.
“TOLONG! TOLONG! TOLONG!” Teriak Rangga keluar rumah untuk mencoba mencari
bantuan.
Ia panik, bingung, dan tidak tahu harus melakukan apa. Ia terus
berteriak dan berteriak untuk meminta bantuan. Tak lama kemudian, penduduk
kampung pun datang. Dan menolong Rangga. Namun, sayang. Adiknya tak tertolong.
***
Setelah Rasti dimakamkan, Rangga tidak langsung meninggalkan pemakaman.
Rangga ingin menemani Rasti di tempat peristirahatan terakhirnya sejenak untuk
terakhir kalinya. Tetes air mata bercucuran keluar dari mata bening Rangga.
Seulas senyum terpancar dari wajah Rangga. Untuk yang terakhir kalinya Rangga
mengucapkan selamat jalan kepada adiknya, Rasti. Ia tidak menyangka bahwa tadi
malam adalah malam terakhir bersama adiknya.
“Da da, Rasti! Selamat jalan ya! Maaf Abang tidak bisa menemanimu. Kamu
pasti sekarang sedang terbang bersama bintang-bintang.” Ujar Rangga dengan air
mata yang menetes membasahi pipi. Seulas senyum terpancar sejenak dari bibir
Rangga. Sebelum ia akan meninggalkan daerah pemakaman, ia sejenak mengelus-elus
nisan adiknya. Kemudian Rangga beranjak
berdiri . melangkahkan kaki untuk pulang dan meninggalkan daerah pemakaman.
Rangga berjalan melewati jalan perkampungan menuju ke gubuknya. Ia
mulai membayangkan bagaimana dengan malam gelap tanpa lampu yang harus ia
hadapi sendiri dalam gubuk . Ia takut kesendirian. Ia berharap Emak pulang. Bapak dan Adiknya kini sudah tidak ada, Emak
entah pergi kemana tanpa kabar.
Rangga terus berharap dalam hati agar Emak pulang sambil melintasi
jalan perkampungan berlumpur dan berbatu.
Berharap Tuhan mendengar harapannya. Sudah satu minggu lamanya ia menunggu
kedatangan Emak, namun Emak tak kunjung datang.
Dari kejauhan terlihat sesosok wanita tua mendekat menghampiri Rangga.
Wajahnya taka sing bagi Rangga. Lekuk wajahnya sudah terlihat keriput. Jalannya
saja mulai terlihat membungkuk. Kebaya usang dan selendang batik yang
dikenakannya merupakan ciri khasnya. Semakin lama, wanita itu semakin mendekat
kearah Rangga. Kemudian ia mengelus punggung Rangga.
“Rangga, nenek turut berduka cita ya atas kepergian adikmu ,Rasti.
Emakmu juga telah mengetahui kepergian Rasti.” Ucap Nenek Asih. Nenek Asih
adalah orang yang dahulu pernah dibantu Emak, sebelum keluarga Emak mengalami
kesusahan ekonomi. Ia hidup sebatang kara. Ia sudah menganggap Emak sebagai
anaknya sendiri. Suami Nenek Asih sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu
karena stroke. Anak satu-satunya Nenek Asih yang kini sudah sukses dan pergi
entah kemana , menelantarkan Nenek Asih dihari tuanya .
“Emak dimana, Nek?” Tanya Rangga
yang tak sabar ingin mengetahui dimana keberadaan Emak.
Nenek itu terdiam sejenak. Tatapan mata kasihan mulai terlihat. Ia
tidak tega untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada anak yang masih
berumur tujuh tahun itu. Nenek merasa, ia terlalu kecil di usianya, untuk
menerima kenyataan yang seperti ini. Tapi bagaimanapun juga Nenek Asih harus
mengatakanya.
“Emakmu ditangkap polisi karena tertangkap basah mengambil dua tandan
singkong di perkebunan itu. Nanti sore Emakmu akan menjalani sidang. Nenek juga
ikut hadir ke persidangan bersama para penduduk kampung. Maaf jika Nenek baru
memberitahumu sekarang karena nenek baru tahu tadi pagi dari cerita warga.”
Cerita Nenek Asih.
Rangga kembali meneteskan airmatanya. Ia menangis sekencang-kencangnya
memanggil nama Emak. ia menangis layaknya anak kecil yang ditinggal pergi jauh
oleh ibunya. Nenek Asih tidak tega melihat Rangga yang menangis dan
meraung-raung. Ia merasa kasihan. Kemudian Nenek Asih memeluk tubuh bocah itu dengan
segenap kekuatan yang dimilikinya. Usaha itu cukup untuk menenangkan perasaan
Rangga walaupun tak dapat menghentikan isak tangisnya.
Bapak, Emak, dan Rasti tidak ada lagi disamping Rangga karena
perusahaan itu. Karena perusahaan itu, Bapak menganggur, mencuri dan meninggal.
Karena perusahaan itu juga Emak dipenjara. Karena perusahaan itu juga Rasti
kelaparan dan meninggal. Rangga tidak bisa membendung airmata lagi. Keluarga yang
dulu penuh dengan kebersamaan, kini musnahlah sudah.
“Nak, sudahlah jangan menangis. Nenek yakin mereka yang berbuat dzalim
akan menerima akibatnya. Bagaimana jika kamu tinggal bersama Nenek? Masih ada
satu kamar kosong untukmu. Nenek juga hidup sebatang kara.” Tawar Nenek Asih
yang seolah-olah mengetahui apa yang ada dipikiran Rangga.
Rangga langsung menerima tawaran Nenek Asih. Ia takut jika harus
sendirian bermalam di gubuk tanpa ditemani secercah cahaya. Apalagi ia hanyalah
anak kecil. Toh, keluarga mereka sudah mengenal Nenek Asih sejak lama dan Nenek
Asih selalu membantu keluaganya. Secara sungkan, Rangga mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian
Nenek Asih memeluk Rangga. Airmata juga tercurah dari mata keriput Nenek Asih.
“Kasihan kamu, Nak! Sekecil ini kamu sudah merasakan cobaan sedemikian
beratnya.” Ujar Nenek Asih sambil mengelus kepala Rangga.
***
Di ruang sidang pengadilan , Rangga duduk disebelah Nenek Asih. Rangga
memandang sosok wanita yang duduk dihadapan hakim dengan kepala menunduk. Matanya terlihat bengkak seperti telah
menangis seharian. Tubuhnya terlihat lemas dan tak bertenaga. Ia duduk dikursi
terdakwa yang menjadi pusat perhatian. Hakim memberikan kesempatan kepada
wanita itu untuk memberikan pembelaan. Hakim duduk
tercenung menyimak tuntutan jaksa penuntut umum terhadap seorang wanita
setengah baya yang dituduh mencuri
singkong. Wanita itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak-anaknya kelaparan.
Bahkan salah satu anaknya yang paling kecil meninggal karena kelaparan. Rangga
sangat mengenal sosok wanita itu. Wanita itu adalah Emak.
Hakim berusaha memberi nasihat kepada perusahaan agar
tidak membesar-besarkan masalah yang dinilai sepele sekali. Dan menyarankan agar diselesaikan dengan cara
kekeluargaan. Namun perusahaan penuntut tetap pada tuntutannya, agar menjadi
contoh bagi warga lainnya.
Hakim menghela nafas . Hakim terlihat emosi mendengar
tuntutan penuntut kepada Emak, Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk Emak
karena hukum tetaplah hukum. Kemudian Hakim memutuskan putusan diluar jaksa
penuntut umum.
“Maafkan saya.” Ujar Hakim itu sambil memandang wajah
lesu Emak yang terlihat pasrah dan berair.
“Saya tidak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap
hukum, jadi anda harus dihukum. Saya mendenda anda satu juta rupiah dan jika
anda tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti
tuntutan jaksa penuntut umum.” Ujar Hakim dengan tegas.
Emak tidak dapat menahan airmata mendengar vonis hakim. Emak tertunduk
lesu. Hatinya remuk redam setelah kepergian anak perempuannya, ia harus
menerima vonis hakim. Yang terus ada dibanak Emak “Bagaimana dengan Rangga jika
ia divonis selama itu?”. Ia merasa berdosa dengan apa yang ia lakukan. Hanya
penyesalan dari perbuatannya yang kini ia terus sesalkan. Selain menyesal telah
melakukan perbuatan nista itu, Emak juga menyesal tidak bisa melihat jenazah
anak perempuan satu-satunya yang berumur lima tahun. Dalam hatinya, Ia terus
menyalahkan dirinya sendiri dengan apa yang terjadi.
Tiba-tiba hakim itu melepas topi
toganya. Sang hakim membuka dompetnya
kemudian mengambil dan memasukkan uang satu juta rupiah ke topi toganya.
"Saya atas
nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir diruang
sidang ini sebesar lima puluh ribu rupiah, sebab menetap dikota ini, dan
membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri singkong untuk memberi
makan anaknya. Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya
ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa." Ujar Sang Hakim sambil
meneteskan airmata.
Reaksi diluar dugaan jika Hakim membuat pernyataan
seperti itu. Orang-orang yang berada di ruangan sidang tidak bisa menahan
airmatanya. Suasana haru pun mewarnai ruangan itu. Topi toga itu
terus berputar. Sampai palu diketuk dan
hakim meninggalkan ruang sidang, Emak
pergi dengan mengantongi uang tiga juta lima ratus ribu rupiah, termasuk uang
lima puluh ribu rupiah yang dibayarkan oleh manajer perusahaan penuntut. Pihak
penuntun tersipu malu karena telah menuntutnya. Dan Emak menyerahkan uang
sebesar satu juta rupiah untuk membayar denda.
Terlihat wajah lega terpancar dari wajah lusuh Emak. Emak menangis dan melakukan sujud syukur di depan khalayak
umum. Rangga dan Nenek Asih mendekat ke
arah Emak. Pelan-pelan, Rangga berusaha menyentuh Emak.
“Emak…!” Ujar Rangga. Ia menagis dan langsung memeluk tubuh Emak.
“Anakku…!” Ujar Emak yang juga tidak kuasa menahan tangis dan membalas
pelukan Rangga.
Emak memeluk tubuh erat anaknya yang berusia sepuluh tahun itu. Emak
terus memeluk anaknya dengan dekapan hangatnya. Tangis haru dan tangis
kehilangan menjadi satu dalam satu pelukan.
Kini Emak bisa hidup bebas dan bernafas lega.
***
Rangga duduk-duduk di depan gubuk menerawang segala yang pernah
terjadi. Mata beningnya memandang kearah bintang-bintang yang mewarnai langit
malam. Ia masih ingat saat memandang bintang bersama Rasti ditemani rasa lapar,
kesakitan, dan kedinginan. Dadanya terasa sesak mengingat kejadian itu. Ia
berharap agar Tuhan menempatkan Almarhum Bapak dan Almarhumah Rasti di tempat
yang layak. Air mata Rangga mulai menetes. Ia rindu Bapak yang selalu
menceritakan dongeng, membuatkan mainan baru untuknya, dan selalu memancing
ikan di hari minggu bersamanya. Ia juga rindu pada Rasti yang selalu membuatnya
tertawa dengan tingkah lucunya dan yang selalu menemaninya dikesendiriannya. Ia
rindu momen-momen saat berkumpul bersama Emak, Rasti, dan Bapak. Ia rindu saat
bersenda gurau bersama. Kini semua sosok itu tinggallah kenangan.
“Cah bagus…” Terdengar suara Emak yang tiba-tiba sudah duduk disamping
Rangga.
Rangga bergegas menghapus airmatanya.
“Kamu kangen Bapak dan Rasti yo, Le?” Tanya Emak dengan bahasa
medhoknya yang khas.
“Iya, Mak. Rangga kangen sama Bapak dan Rasti.” Jawab Rangga sambil
menatap bintang. Terlihat mata Rangga mulai meneteskan airmata.
Raut muka sedih Emak mulai terlihat. Airmata juga menetes dari mata
keriputnya. Emak memeluk tubuh putra satu-satunya yang tersisa. Emak tak
berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia terus menyalahkan dirinya sendiri
dengan apa yang menimpa Rasti. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu yang baik
untuk kedua anaknya. Karena ia tidak bisa memberikan kebahagiaan bagi kedua
anaknya.
“Maafkan Emak ya, Le? Apa yang terjadi sama Emak dan Bapak yang kamu
ketahui, janganlah kamu tiru di masa depan. Jadilah orang yang berguna bagi
umat manusia, Le. Mulai besok teruskanlah sekolahmu yang sempat berhenti.
Sekarang Emak punya penghasilan dari penjualan gorengan dan sisa uang dari
hakim dan orang-orang dipersidangan minggu lalu.” Suara Emak terdengar serak
karena menangis.
Mendengar apa yang baru saja Emak katakana, Rangga mulai merasa senang
bisa kembali melanjutkan belajar di bangku kelas satu SD yang sempat terhenti.
“Sekarang Emak memiliki cukup uang untuk membiayaimu sekolah. Emak
sekarang juga sudah memiliki pekerjaan walau hanya sebegai penjual gorengan.
Emak ingin kamu sekolah setinggi mungkin. Dan Emak ingin kamu merubah nasibmu.
Raihlah cita-citamu, nak! Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Emak
tidak ingin kamu bernasib sama seperti Emak.” Ujar Emak memeluk putranya yang
berumur tujuh tahun itu dan mencium keningnya. Memeluk tubuh anaknya,
membuatnya merasa hangat walau udara dingin menusuk di malam hari.
Sekolah, yang selama ini ia inginkan. Ia ingin melanjutkan sekolah yang
sempat terhenti karena faktor ekonomi. Ia senang ia bisa kembali merasakan
duduk dibangku sekolah. Bermain bersama teman-teman kembali. Lampu teplok itu kini kembali menyala.
Kehangatan yang dahulu pernah ada seolah-olah muncul kembali. Namun kedatangan
kehangatan itu, tidaklah selengkap seperti dahulu.
***
Waktu terus terlewati. Bangku SD lewatlah sudah. Bangku SMP baru saja
terlampaui. Kini Rangga duduk dibangku kelas dua SMA. Ia tumbuh menjadi sosok
lelaki yang tampan, gagah, dan pintar walau tak sepintar Jimmy Neutron dan BJ
Habibie. Ia tak pernah menjadi juara kelas, tapi ia selalu punya cara untuk
memenangkan kompetisi perlombaan. Rangga bisa mengambil pengalaman hidupnya
terdahulu. Ia selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa, ketika nanti ia menjadi
orang sukses, ia tak ingin memiliki sifat sombong dan serakah. Selalu itu yang
ada dalam doanya. Baginya, menjadi juara kelas bukan apa-apa tanpa tanda
apresiasi. Menurut Rangga, hadiah dari berbagai kompetisi perlombaan itu
berguna untuk dirinya dan Emak.
Subuh datang menjelang. Ayam-ayam
mulai berkokok menandakan matahari akan terbit. Adzan mulai berkumandang
memanggil para umat manusia untuk segera menunaikan ibadah Subuh. Rangga
terbangun dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk bangun dari kasur yang
dahulu adalah dipan beralas tikar. Ia ingin melanjutkan tidurnya, namun hati
kecilnya memaksanya untuk segera melakukan aktivitas. Rangga melangkahkan kaki
menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Air yang mengalir dari kamar mandi tanpa atap
itu terlihat hitam pekat. Baunya sangat menyengat sekali. Rangga memutuskan
untuk pergi ke Surau sekaligus mengambil air wudlu disana.
“Le, wajahmu masih terlihat seperti baru bangun tidur. Ambil air wudlu
sana, gih!” Emak memperhatikan wajah putranya yang kebetulan berpapasan di
pawon.
“Tadi saya baru dari kamar mandi, Mak. Tapi saya tidak jadi wudlu
karena air dari kran terlihat berwarna hitam pekat dan baunya menyengat
sekali.” Ujar Rangga sambil mengenakan sarung.
“Pasti itu karena limbah perusahaan gendeng itu!” Ujar Emak yang masih menyimpan dendam pada
perusahaan itu.
“Ya sudah, Mak. Kalau begitu Rangga mau sholat di Surau.
Assalamualaikum.” Pamit Rangga sambil mencium tangan Emak yang sudah terlihat
keriput karena di makan umur.
Ternyata air di Surau juga keruh, hitam, dan berbau pekat seperti yang
ia lihat dirumahnya. Para warga yang akan melaksanakan sholat shubuh termasuk
Rangga terpaksa bertayamum. Begitu ia selesai melaksanakan sholat Shubuh, warna
air pun tetap hitam dan berbau pekat. Ia semakin di buat bingung karena masalah
air. Ia tidak bisa mandi untuk membersihkan diri padahal hari ini ia harus
berangkat ke sekolah.
“Coba mandilah di sungai, Le! Mungkin airnya masih bersih.” Usul Emak.
Rangga mengangguk yang menandakan ia menyetujui usulan Emak dan
bergegas pergi ke sungai dengan membawa seperagkat alat untuk mandi. Betapa
terkejutnya Rangga ketika melihat sungai, air sungai tak lagi jernih seperti
waktu ia datang bersama Emak kemarin. Warna air sungai hitam dan baunya lebih
menyengat daripada bau air yang mengalir di Surau dan di rumah. Terlihat banyak bangkai ikan tergenang di
Sungai dan tergeletak di daratan. Tidak hanya itu saja, bekas limbah pabrik itu
juga mengganggu aliran irigasi untuk pengairan sawah. Rangga mendengar percakapan
beberapa kerumunan para petani yang tak jauh dari dirinya berkeluh kesah
tentang perusahaan singkong itu.
“Yah, perusahaan singkong itu benar-benar keterlaluan. Gara-gara
perusahaan singkong itu Abah menganggur yang mengakibatkan Abah berbuat
criminal, dan mati tertembak. Gara-gara perusahaan itu juga Emak masuk penjara
yang mengakibatkan aku dan Rasti kelaparan yang mengakibatkan Rasti
meninggal.” Batin Rangga dalam hati.
Sejujurnya ia dendam kepada perusahaan itu. Namun ia bukanlah tipe orang
pendendam.
“Bagaimana kalau kita adakan demo?” Usul salah satu orang dari
kerumunan itu.
“Percuma saja! Itu tidak akan membuahkan hasil. Yang ada justru kita
yang akan kesal sendiri karena mereka punya uang, jabatan, dan kedudukan.”
Jawab temannya.
Rangga sadar, ia harus membalas
dendamnya dengan cara terhormat tanpa harus membuang waktu dan energi.
Benar kata salah satu orang dari kerumunan itu. Kita akan kesal sendiri jika
memakai cara berdemo. Rangga mulai berfikir. Yap, kini ia tahu apa yang harus
ia lakukan untuk mengatasi banyaknya pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan
yang terjadi di desa ini.
Rangga meminta beberapa galon air minum bekas milik Pak Sapto. Kemudian
ia mulai mencari gedebok pisang , pasir, batu besar, batu kali, kerikil, dan serabut
kelapa di area sawah yang tergeletak begitu saja dan pekarangan rumah warga
yang tidak terpakai. Ia juga memungut tempurung kelapa yang tergeletak begitu
saja di tepi sungai dan area sawah, lalu membakarnya. Ketika tempurung kelapa
itu dibakar, baunya begitu menyengat hidung. Dan baunya membuat sesak.
“Le, apa yang kamu lakukan di belakang rumah?” Tanya Emak yang menciup
bau menyengat dari belakang rumah. Emak melangkah menghampiri Rangga.
“Ini, Mak. Rangga lagi membuat eksperimen untuk penyaringan air.” Ujar
Rangga tanpa menoleh ke arah Emak.
“Walah walah! Eksperimen iku opo, Le? Emak, nggak ngerti.” Ujar Emak
sambil menggaruk kepala padahal kepalanya tidak gatal.
“Eksperimen itu percobaan, Mak.” Jawab Rangga tanpa memperhatikan mimik
muka Emak.
“Ooo.” Bibir Emak langsung membentuk huruf O. Emak kemudian kembali
melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah karena tidak mengerti apa yang
sedang dilakukan anak semata wayangnya.
Rangga sedang asyik dengan eksperimannya. Ia mulai merakit galon air
minum isi ulang dengan mmbuat lubang pada bagian bawah. Lalu ia memasukan pasir,
batu, kerikil, arang tempurung kelapa, dan gedebok pisang secara berurutan dan
rapi. Akhirnya , jadilah alat penyaring air kotor yang dibuat secara sederhana.
Alat penyaring itu terlihat seperti galon terbalik yang penuh dengan muatan. Kemudian
Rangga mengambil segelas air hitam pekat dan bau dari kran kamar mandi dan
menuangkannya ke dalam galon terbalik yang berisi itu yang bagian atasnya sudah
di buat rongga untuk menuangkan air. Rangga harus menunggu proses filterisasi
penyaringan air kurang lebih sepuluh menit. Setelah sepuluh menit, Rangga
melihat wadah air yang sudah di letakkannya di bawah mulut galon. Air yang pada
mulanya berwarna hitam pekat dan bau yang tidak sedap setelah mengalami
filterisasi air terlihat lebih jernih dan tidak berbau.
“Emak..! Eksperimenku berhasil!” Teriak Rangga dengan raut wajah
senang.
“Ada apa toh, le?” Tanya Emak yang masih terheran-heran melihat
putranya jingkrak-jingkrak tidak karuan.
“Mak, eksperimenku untuk membuat alat penyaringan! Lihat, Mak! Air yang
tadinya berwarna hitam dan bau itu menjadi jernih dan tidak berbau.” Ujar
Rangga sambil menunjukkan hasil eksperimennya.
“Wah, hebat kamu, Le! Emak nggak nyangka kamu bisa sehebat ini membuat
alat penyaringan dari bahan-bahan yang sederhana. Emak akan bilang kabar ini ke
seluruh warga kampung supaya mereka tidak perlu resah karena masalah air.” Ujar
Emak dengan ekspresi bahagia yang terpancar dari wajahnya. Emak langsung
melangkahkan kaki keluar rumah dan mengumumkannya kepada para warga sekitarnya.
Maklum, di kampung ini hanyalah Rangga yang bisa melanjutkan sekolah hingga
bangku SMA. Selama ini, dikampung Rangga, anak yang seusia Rangga sudah banyak
berkeluarga, berurbanisasi untuk mencari pekerjaan di kota, atau menganggur
tidak jelas. Dan penduduk di desa ini mayoritas
buta huruf. Begitu juga yang terjadi pada kedua orang tua Rangga yang
kedua-duanya buta huruf.
Warga kampung berkerumunan ingin melihat hasil eksperimen Rangga.
Banyak warga yang seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dibuat Rangga. Ada
juga warga yang meragukan alat penyaringan air hasil rakitan Rangga.
“Bagaimana alat yang terbuat dari bahan-bahan sederhana itu bisa
menjernihkan air dan menghilangkan bau busuk air limbah itu? Aku tidak percaya
kalau alat itu yang melakukannya. Jangan-jangan kamu pakai dukun ya!” Ujar
salah seorang warga yang meragukan hasil eksperimen Rangga.
“Tidak. Saya tidak menggunakan dukun. Alat ini bisa menjernihkan air
limbah itu karena mengalami proses filterisasi yang artinya air di bersihkan
dan disaring dengan gedebok pisang, serabut kelapa, pasir, dan bebatuan.
Sehingga zat-zat yang membuat air itu menjadi hitam tersaring oleh bahan-bahan
ini. Sedangkan arang tempurung kelapa dalam proses filterisasi ini befungsi
untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dari air limbah itu sendiri.” Jelas
Rangga dengan menggunakan gerakan tangannya. Setelah warga kampung mendengar
penjelasan Rangga, mereka tidak meragukan apa yang dibuat oleh Rangga. Mereka
langsung antri untuk mencoba hasil eksperimen Rangga. Dan hasilnya benar-benar
nyata.
Tidak hanya sampai disitu saja. Rangga membagikan ilmunya secara gratis
dan cuma-cuma kepada warga sekitar. Ia mengajari para warga mengenal huruf,
membaca, dan menulis. Para warga dan pemuda-pemudi juga diajari cara membuat
eksperimen seperti membuat obat pel dari kulit jeruk, membuat shampoo dari
lidah buaya, membuat abon gedebok pisang yang rasanya seperti abon sapi,
membuat es krim dari kelapa, membuat anyaman dari karung goni, membuat
kerajinan origami, danvmembuat anyaman dari
serabut kelapa agar mereka memiliki usaha sendiri tanpa harus bergantung lagi
pada hasil bumi. Rangga juga membagikan ilmu teorinya yang ia dapat selamanya
bersekolah kepada anak-anak dan para remaja di kampung seperti matematika,
bahasa inggris, bahasa Indonesia, geografi, sejarah, dan fisika dengan tujuan
agar mereka bisa meneruskan generasi bangsa yang telah terpuruk.
***
Lambat laun, kampung itu kini tidak terlalu bergantung pada hasil bumi.
Kini angka kelaparan dan pengangguran menurun drastis dalam kurun waktu satu
tahun. Perusahaan singkong itu mengalami kebangkrutan. Kehidupan Emak, kini
penuh dengan kemakmuran. Rangga sendiri berhasil mendapatkan penghargaan dan
beasiswa di University of Harvard di Negeri Paman Sam dan akan berangkat minggu
depan.
“Nak, apa yang kamu lakukan malam-malam duduk sendirian?” Tanya Emak
yang wajahnya semakin keriput dimakan usia.
“Rangga sedang memandang bintang-bintang itu, Mak.” Ujar Rangga sambil
menunjuk ke arah langit.
Emak langsung duduk disebelah putra semata wayangnya. Suasana menjadi
terdiam sejenak.
“Mak, melihat bintang-bintang itu, Rangga jadi teringat Rasti. Sayang
ya ,Mak! Rasti dan Bapak belum sempat menikmati kemakmuran yang kita rasakan
sekarang ini.” Ujar Rangga dengan air mata menetes dari matanya yang bening.
“Sudahlah, Le! Bapakmu dan adikmu pasti sekarang mereka juga sedang
bahagia karena melihat kamu berhasil menjadi orang. Semoga Allah SWT
menempatkan mereka di tempat yang paling indah.”
Ujar Emak
yang juga meneteskan airmata.
Uang, jabatan, dan Materi tidak bisa membeli
kasih sayang
Namun kasih sayang bisa menghasilkan lebih
dari itu
Janganlah berhenti bermimpi seperti anak
kecil yang memiliki mimpi besar
Sebersit harapan, sebersit cita-cita dalam
usaha dan doa akan membantu kita dalam menggapai semua mimpi dan anganmu…
_SELESAI_
karya: AULIA MAGHFIROH
karya: AULIA MAGHFIROH
Komentar
Posting Komentar