KEBUN SAWIT
Kabut mulai turun pelan-pelan. Matahari jatuh dikaki langit. Makin berat menggantung. Beberapa kali halilintar menyambar. Suara menggelegar itu mengguncang bahu dua anak gadis kecil yang duduk didepan pintu rumah panggung mereka. Mata mereka terpejam seketika. Dua gadis kecil itu memeluk lutut. Mata keduanya terus menuju jalan setapak di balik pagar depan. Rumput liar setinggi dada orang dewasa memagari jalan setapak itu. Titik air jatuh satu-satu membalur tanah yang seminggu berselimut debu. Gadis kecil itu memeluk adiknya yang ketakutan. Karena suara halilintar yang keras seperti memecahkan langit. Jalan setaak itu terlihat masih kosong. Mereka masih bertahan didepan pintu. Mata gadis kecil itu seperti melihat sosok Emak berjalan menunduk dibalik guyuran hujan. Lama sekali mereka menunggu tapi emak tak kunjung muncul. “kak, lapar…” Bibir adiknya gemetar. Suara halilintar kembali terdengar. Gadis kecil itu cepat-cepat membawa adiknya masuk. Tangan kecilnya meraba-raba dalam gelap. Percuma lampu teplok itu tak berminyak. Kemarin malam mereka tidur dalam gelap. Gumpalan ketakutan seketika menakuti hati mereka. Tapi Emak belum juga pulang. *** Pagi-pagi sekali Emak turun dari rumah panggungnya. Menuruni kaki bukit yang penuh dengan rumput liar. Batang-batang sawit itu berdiri angkuh seperti mengejek Emak. Hati- hati sekali Emak dengan ketelatennya coba menjatuhkan setandan dua tandan buah sawit dari batangnya setinggi tiga meter. Security yang berpatroli dikebun sawit menemukan Emak mengambil sawit dan kemudian menangkapnya. Seminggu yang lalu para security menangkap Abah. Katanya, Abah salah satu pencuri sawit yang diburu-buru security perusahaan. Abah mencuri buah sawit karena terpaksa. Dua orang polisi dan beberapa security perusahaan sawit datang kerumah. Mereka memborgol tangan Abah dan mendorong tubuhnya dengan kasar masuk ke dalam mobil. Mereka membawa Abah ke kantor polisi. Emak tidak tahu harus melakukan apa untuk mengeluarkan Abah dar kantor polisi. Tak ada sanak family atau saudara yang bisa dimintai tolong. Perkebunan sawit telah merampas tanah orang kampung. Orang-orang diusir keluar dari hutan sawit yang dulunya milik bersama. Sejak perkebunan sawit itu berdiri, Abah tidak pernah lagi pulang membawa jerigen-jerigen madu yang diambilnya dari pohon sialang. Sungai pun tercemar pestisida yang dibuang sembarangan oleh perusahaan sawit. Ikan-ikan disungai menghilang. Ketika Abah pergi memancing berhari-hari lamanya tapi Abah pulang tanpa membawa seekor ikan pun. Selama ini Abah dan penduduk kampung menggantung hidup dari hasil hutan sawit dan ikan-ikan disungai. Perusahaan sawit tidak mau memperkerjakan penduduk kampung. Mereka menganggap orang kampung bodoh dan tidak tahu apa-apa. Abah tidak punya pilihan lain selain mencuri buah sawit bersama beberapa orang penduduk kampung. Naasnya mereka tertangkap semua. Dan Abah berhasil kabur. Namun, siangnya polisi datang menangkap Abah. Sejak itu Emak menggantikan posisi Abah untuk memenuhi kebutuhan pangan keduan anaknya yang masih kecil. Emak hanya mengambil dua atau tiga tandan sawit dari tanah mereka sendiri yang diambil orang. Tandan sawit itu lalu dijual ke kota dengan harga yang murah. Emak akan lebih senang kalau tandan sawit itu dibayar dengan beras, ikan asin, garam, minyak tanah, mie instan, atau gula. Biasanya Abah sebulan sekali ke kota membeli keperluan keluarga untuk beberapa pekan. Namun semenjak perusahaan sawit memperketat penjagaan perusahaan sawit , Abah sangat jarang ke kota. “Kak, lapar…” Adiknya merengek lagi. “Singkong rebus sudah habis. Sabarlah sebentar. Sebentar lagi Emak pulang. Kita akan makan pisang goreng.” Gadis kecil itu setengah menyesal. Kenapa sebelum hujan tadi ia tidak meminta singkong ke rumah Nenek Ponti. Perempuan tua itu selalu punya singkong yang banyak untuk bahan makanan cadangan. Malam ini tidak ada singkong rebus dan mereka akan melewatinya dalam gelap. Dia juga merasakan perutnya seperti diremas-remas. Emak belum juga pulang. Tiba-tiba suara petir berdentam keras seperti menghantam rumah mereka. Gadis kecil itu terlonjak. Adiknya menangis sejadi-jadinya. Dia tidak hilang akal. Dibukanya jendela yang menghadap ke halaman. Dari jendela yang terbuka itu remang cahaya masuk. Dia dapat melihat sepintas muka adiknya yang berair. Bibir adiknya gemetaran dan pucat. Perutnya kembali diremas-remas. Dari pagi tadi mereka belum makan. Tiga hari ini mereka hanya makan singkong rebus dan sedikit ikan asin. Sore kemarin lusa, Emak pulang dari rumah Nenek Ponti dengan muka berseri-seri. Ditangannya ada sebungkus kecil garam dan beberapa ikan asin yang sudah digoreng lalu memakannya bersama-sama. Air liur gadis itu menetes ketika membayangkan kejadian itu. Perutnya makin perih dan adiknya menangis tanpa suara. Dipandu cahaya redup, gadis kecil itu merabah isi kantong plastic hitam dibawah kaki dipan. Didalamnya ternyata terdapat bunga sawit yang hangus. Bibirnya yang pasi itu tersenyum dan ia punya ide. “Dik, lihat!” Tangan gadis kecil itu dengan lincah menari-narikan bunga sawit yang seukuran telunjuk. Tangannya meggerakkan bunga sawit sesuai imajinasinya. Lalu menjawili pipi adiknya dengan bunga sawit sambil menyanyikan sebuah lagu. Gadis itu kemudian mengambil selendang batik jawa dan menari-nari dengan menggerakkan bunga sawit itu. Terdengar lucu. Adiknya tertawa terpingkal-pingkal. Suaranya terdengar serak. Dari siang tadi adiknya terus menangis. Dia juga ingin menangis. Kalau dia menangis pasti adiknya akan ikut menangis. Di tahan-tahankannya airmatanya agar tidak tumpah. Asap dari bunga sawit yang hangus itu membuat adiknya batuk-batuk. Gadis kecil itu mulai kelelahan. Perutya yang keroncong makin meronta. Dia menyeringai menahan perih. Perutnya sakit bagai ditusuk beribu-ribu jarum. Gadis kecil itu sempoyongan. Kakinya tidak bisa berdiri tegap. Dia menjatuhkan dirinya disamping adiknya yang sedang menguap lebar-lebar. “Adik, tidur duluan. Nanti kalau Emak datang, kakak banngunkan.” “Nanti kita makan pisang goreng kan, Kak?” Mata adiknya mulai berat. “Iya, Emak pasti pulang membawa pisang goreng lagi.” Dia paksakan bibirnya untuk tersenyum. Selimut batik jawa yang sudah sobek disana-sini ditutupkan ketubuh adiknya. Tubuh adiknya melengkung dengan tangan bersedekap. Menahan dingin dan rasa lapar yang menusuk-nusuk. Bunga sawit diletakkanya kembali dikaki dipan. Asap bunga sawit ampuh mengusir nyamuk walau membuat rongga dada sempit. Gadis kecil itu mendongakkan kepalanya dari jendela yang terbuka. Emak belum juga pulang. Mata gadis itu tak juga mampu mengatup. Sakit perutnya makin perih. Ia berharap besok emak akan pulang dan membawa sekantong penuh pisang goreng atau pecel. Lamunan gadis itu buyar. Dia dikejutkan dengan suara erangan adiknya. Tubuh adiknya mengejang. Dari mulutnya keluar buih. Mata adiknya membelalak. Tubuhnya kejang-kejang. Temaram cahaya yang ciut, membuat hati gadis kecil itu pasrah melihat kondisi adiknya. Untuk kesekian waktu, ia tidak bisa melakukan apa-apa selain memeluk adiknya kuat-kuat. Tubuh kecil adiknya luruh di tepi dipan. Tenaganya tak mampu lagi menopang tulang punggungnya. Adiknya tidur begitu tenang. Diusapkannya sisa buih dari mulut adiknya. Dia tersenyum sembari menyeka pipinya yang berair. Untuk memastikan adiknya sudah benar-benar tidur, ditepuk pelan-pelan pipi adiknya. Tak ada reaksi. Pipi adiknya begitu dingin. Selimut batik jawa yang sudah sobek semakin direkatkan ketubuh adiknya. Daun jendela kembali dirapatkan. Gadis kecil itupun merebahkan tubuhnya disamping adiknya. Adiknya tidur begitu tenang dengan tubuh sedingin es. “Dia pasti kedinginan,”pikirnya. Dia pun tidur tanpa selimut. Tubuhnya menggigil dicubit hawa dingin. Tubuhnya melenngkung bersedekap kuat-kuat. Perutnya begitu perih. Sampai matanya terpejam. Namun, Emak belum pulang juga.
Komentar
Posting Komentar